Marah Dengan Masa Lalumu? Yuk Berdamai Dengan Diri!
Sudah beberapa hari ini, teman saya uring-uringan karena marah dengan masa lalunya. Kemarahan edisi kali ini memang boleh dibilang cukup spesial.
Karena tidak mau hilang meski udah “healing”. Padahal biasanya, melarikan diri dari rasa marah itu dengan makan enak, jalan-jalan, belanja, maka si marah sudah tidak terasa.
Tapi ternyata kali ini si marah belum juga mau beranjak dari dirinya.
“Kamu kenapa?”, tanya saya padanya karena heran sudah beberapa hari dirinya gelisah.
"Akhir-akhir ini aku kok merasa diriku menderita ya,” jawab teman saya.
"Karena apa?”
-
Tingkatkan SEO Website Dengan Ribuan Weblink Bebagai Topik!
-
Sewa Domain, Hosting, dan VPS untuk Proyek Digital Anda!
-
Dapatkan Akun Bersama Berbagai Aplikasi Web Populer Dengan Harga Murah!
"Sering teringat masa lalu. Lalu aku marah dengan masa laluku itu. Setiap marah itu muncul, seketika aku ingin menekannya dan melawannya. Tetapi enggak bisa,” jawabnya sambil menghela napas.
Dia melanjutkan, “Aku jadi menderita karena enggak bisa menekan marah itu. Gagal pula melawan dan menghilangkannya. Padahal sejak kecil, udah 20-an tahun aku tau bahwa enggak boleh marah. Marah itu perasaan negatif. Apa yang mesti aku lakukan ya?”
Jawab saya, “Menurutku Iho ini, kamu menderita bukan karena rasa marah. Kamu menderita karena relasimu dengan rasa marah. Karena kamu ingin menekan dan melawannya. Masalahnya bukan rasa marah. Masalahnya adalah keinginanmu untuk menekan dan melawan rasa marah. Karena enggak berhasil mewujudkan keinginanmu itu, kamu jadi bertambah marah. Marahmu berlipat ganda.”
“Berarti marahku mesti kulampiaskan?” sahutnya.
“Bukan begitu juga,” balas saya.
"Bukan menekan, memendam, atau melawan, bukan pula melampiaskan.”
Saya melanjutkan,
“Jadi marahmu berlipat ganda itu tersusun atas:
- Rasa marah yang muncul di awal.
- Marah terhadap rasa marah.
- Marah karena kamu enggak berhasil melawan rasa marah.”
"Simplenya, menurutku kok kayaknya kamu marah dengan dirimu sendiri ya. Kamu merasa meski udah tau marah itu enggak baik, tapi kok ya kamu tidak bisa menghilangkannya.”
“Lalu aku mesti gimana?” tanya teman saya.
"Saranku, kamu enggak perlu sebegitunya berusaha melawan marahmu. Eh ngomong-ngomong, kapan kamu marah?”
“Kemarin.”, jawabnya
"Kemarin itu sekarang atau masa lalu?"
"Masa lalu.”
"Nah kita enggak perlu hidup di masa lalu. Kemarin udah berlalu. Hiduplah di saat ini, di sini-kini.”
“Eh tapi kalau marahku sekarang?”
“Apa yang bikin kamu marah?”
"Kejadian di masa lalu.”
"Lagi-lagi masa lalu. Hiduplah di saat ini, di sini-kini. Berlatihlah duduk diam, terpejam, hening, sadari napas. Dan lakukan apapun dengan berlatih sadar penuh hadir utuh di sini-kini.”
Keesokan harinya, saya tak melihat sedikitpun tanda-tanda kalau teman saya sedang marah.
“Gimana?”, tanya saya singkat.
Jawabnya, “Ternyata bukan ingatan, pikiran dan perasaanku yang bikin menderita. Ternyata yang bikin menderita itu reaksiku yang ingin melawan dan melampiaskannya. Dan ingatan, pikiran serta perasaan kita itu akumulasi dari masa lalu.”
Dan dia pun tersenyum.
Maksud teman saya, justru diri kita ini adalah masa lalu itu. Duh, ternyata sebatas berdasar apa aja yang udah kita alami di masa lalu, kita sering semena-mena menghakimi setiap momen yang terjadi di saat ini.
Padahal setiap momen di sini-kini sejatinya selalu segar, senantiasa hidup dan mengalir.