Skip to main content

Belajar Tegar ala Mantan Agen Rahasia: 7 Kebiasaan yang Diam-Diam Mengubah Hidup

Belajar tegar ala mantan agen rahasia Evy Poumpouras lewat 7 kebiasaan sederhana: berhenti jadi korban, mengatur emosi, memilih lingkungan, dan mengurangi overthinking.

 |  Muhammad Fauzi Rizal  |  Hikmah & Motivasi
Perempuan membaca buku dengan santai
Seorang perempuan dengan jaket kulit dan blus putih, fokus membaca buku di tangannya.

Ada orang yang kalau bicara soal keteguhan mental, kita langsung ngerasa, “Oke, ini orang nggak cuma teori.”

Evy Poumpouras salah satunya. Mantan agen rahasia Amerika Serikat ini sering cerita bagaimana ia belajar tetap tenang, tegas, dan jernih berpikir di tengah situasi ekstrem.

Artikel ini merangkum pelajaran praktis dari salah satu wawancaranya, lalu menerjemahkannya ke bahasa sehari-hari. Bukan buat jadi “agen rahasia”, tapi buat kamu yang:

  • capek jadi orang yang gampang kebawa emosi,

  • ingin lebih dihargai di kerjaan,

  • dan pengin hidup lebih ringan, nggak penuh drama.

Semua kebiasaan di sini kecil-kecil saja, tapi kalau kamu konsisten, efeknya bisa kerasa dalam.

DAFTAR ISI

Siapa Evy Poumpouras dan kenapa kita perlu dengar?

Evy pernah bertugas di Secret Service, melindungi presiden dan menangani kasus-kasus berat. Artinya, dia bukan cuma belajar “kuat” dari buku motivasi, tapi dari situasi nyata:

  • harus tetap tenang saat orang lain panik,

  • harus profesional meski di depan pelaku kejahatan,

  • harus bisa membuat keputusan cepat dengan risiko besar.

Yang menarik, gaya bicara Evy santai, blak-blakan, tapi tetap hangat. Itu yang bikin pelajarannya enak diserap orang awam. Dan kabar baiknya: banyak kebiasaan yang dia bagi bisa kita terapkan dalam hidup sehari-hari—bahkan kalau kerjaan kita “cuma” di kantor, di rumah, atau remote dari kafe.


1. Berhenti hidup sebagai “korban”

Kebiasaan pertama: berhenti mendefinisikan diri lewat masa lalu.

Banyak dari kita tanpa sadar sering ngomong begini:

  • “Aku emang orangnya gampang marah, soalnya dulu…”

  • “Aku susah percaya orang, gara-gara mantan dulu…”

  • “Aku nggak berani ambil risiko, karena keluarga dulu begini…”

Mengakui luka masa lalu itu bagus. Tapi kalau setiap cerita tentang diri kita selalu diawali dengan trauma dan alasan, pelan-pelan kita sedang berkata pada diri sendiri:

“Aku nggak bisa berubah. Aku akan selalu jadi korban.”

Cara mulai mengubah:

  • Ganti kalimat:

    • dari: “Aku begini karena dulu…”

    • jadi: “Selama ini aku begini. Sekarang aku mau belajar jadi orang yang…”

  • Tulis 1–2 kejadian yang paling sering kamu jadikan “alasan hidup”.
    Di bawahnya, tulis: langkah kecil apa yang bisa kamu ambil minggu ini untuk bergerak maju.

Kamu tidak harus pura-pura lupa masa lalu. Tapi kamu bisa memilih: masa lalu jadi cerita, bukan identitas.


2. Terima kenyataan orang lain apa adanya, bukan versi ideal di kepala kita

Kebiasaan kedua: berani melihat orang sebagaimana mereka sekarang, bukan seperti yang kita harapkan.

Contoh klasik:

  • pasangan yang nggak mau berubah meski sudah diajak ngomong berkali-kali,

  • rekan kerja yang dari dulu santainya kebangetan,

  • keluarga yang selalu drama tiap kumpul.

Evy mengingatkan: manusia itu seperti gunung es. Cara mereka berpikir dan bersikap terbentuk dari keluarga, pengalaman, dan nilai hidup bertahun-tahun. Mengubah mereka sepenuhnya hanya lewat omongan kita hampir mustahil.

Jadi, pilihannya bukan:

“Gimana caranya aku mengubah dia?”

Melainkan:

“Bisakah aku menerima dia apa adanya?
Kalau tidak, apakah aku berani mengubah cara aku hadir di hubungan ini?”

Latihan kecil:

  • Pilih satu orang yang paling sering bikin kamu stres.

  • Jawab jujur di kertas:

    • “Fakta apa yang harus aku terima tentang dia?”

    • “Kalau dia nggak berubah 1–3 tahun ke depan, apa aku rela hidup seperti ini?”

  • Dari situ, pilih:

    • terima + adaptasi (ubah ekspektasi dan cara merespons), atau

    • pelan-pelan membuat jarak yang sehat.

3. Menjaga “bathtub otak”: kurangi beban pikiran, jangan ditambah

Ilustrasi otak manusia dengan efek visual kompleks

Gambar: Ilustrasi otak manusia dengan warna dan pola visual yang kompleks, menggambarkan aktivitas saraf dan proses berpikir.

Evy punya analogi keren: otakmu seperti bak mandi.

  • Ada kapasitas maksimal.

  • Kalau terus ditambah air (tugas, drama, kekhawatiran, notifikasi), pada titik tertentu pasti meluap.

Saat bak otak sudah penuh, yang terjadi:

  • mudah marah,

  • gampang tersinggung,

  • susah fokus,

  • dan keputusan-keputusan jelek muncul beruntun.

Dalam psikologi pendidikan, hal ini sejalan dengan konsep cognitive load theory yang menjelaskan bahwa memaksa otak memproses terlalu banyak informasi sekaligus justru menurunkan kemampuan belajar dan mengambil keputusan.

Kabar baiknya, kebiasaan orang kuat bukan “nahan lebih banyak air”, tapi mengurangi isi bak:

  • menyederhanakan pilihan (baju, jadwal, rutinitas),

  • menghapus komitmen yang nggak penting,

  • bilang “tidak” pada hal-hal yang cuma nyedot energi.

Kamu bisa mengaitkan ini dengan latihan fokus membaca di artikel latihan membaca fokus 20 menit dan menjaga energi di tips sleep hygiene untuk pembaca—semakin sedikit kebocoran energi, semakin mudah otak diajak bekerja serius.

Coba hari ini:

  • Pilih 3 hal kecil yang bisa kamu kurangi:

    • matikan notifikasi 2–3 grup yang sebenarnya nggak penting,

    • stop cek media sosial tiap 5 menit,

    • siapkan “seragam kerja” sederhana biar nggak ribet milih baju.

  • Setiap mulai overthinking, tanya diri sendiri:

    “Ini bantu aku maju, atau cuma bikin bak mandiku makin penuh?”


4. Bedakan diri “autentik” dan diri “profesional”

Gambar: Beberapa pejabat pemerintah duduk mengelilingi meja bundar dalam sebuah rapat serius, mendengarkan penjelasan dan berdiskusi tentang penanganan banjir.

Ini bagian yang cukup “nendang”.

Evy bilang: di dunia kerja, jangan selalu bawa diri “autentik” versi media sosial—yang semua emosi, keluhan, dan drama dibentangkan apa adanya.

Di kantor atau saat kerja profesional (termasuk kerja remote), yang dibutuhkan adalah:

  • diri profesional yang bisa:

    • mengontrol emosi,

    • memilih kata,

    • fokus menyelesaikan tugas, bukan menyebar drama.

Bukan berarti kita jadi palsu. Bedanya:

  • Diri autentik 100% mentah cocok di ruang sangat pribadi: sahabat dekat, pasangan, jurnal harian.

  • Diri autentik yang disaring = profesional: tetap diri kita, tapi dengan filter kesadaran: “Aku lagi di konteks kerja, bukan curhat grup WA.”

Kebiasaan yang bisa dilatih:

  • Sebelum meeting atau masuk kantor/kafe kerja, tanya:

    “Versi diriku mana yang mau kubawa hari ini?”
    Versi yang mudah tersinggung, atau versi yang tenang dan profesional?

  • Kalau lagi emosi:

    • tunda kirim email/chat penting 10–15 menit,

    • baca ulang dengan kepala lebih dingin,

    • baru kirim kalau sudah yakin isinya tidak meledak-ledak.

Semakin sering kamu melatih ini, semakin besar rasa hormat orang terhadapmu—di kantor, komunitas, maupun proyek sampingan.

5. Latih self-regulation: emosi boleh muncul, tapi jangan jadi sopir

Banyak keputusan terburuk diambil saat kita dikuasai rasa takut:

  • takut jomblo,

  • takut nggak punya uang,

  • takut kehilangan,

  • takut dikira “nggak baik”.

Evy menekankan pentingnya self-regulation: kemampuan mengatur emosi supaya:

  • emosi tetap ada (marah, sedih, takut),

  • tapi tidak memegang setir.

Ibarat mobil, emosi boleh duduk di kursi penumpang, tapi yang pegang kemudi tetap akal sehat.

Di psikologi modern ada konsep affect labeling: memberi nama pada emosi (“aku lagi marah”, “aku lagi cemas”) bisa membantu menurunkan intensitas perasaan dan membuat kita lebih tenang mengambil keputusan.

Kebiasaan praktis:

Setiap kali ada situasi yang bikin kamu panas:

  1. Pause 10 detik.
    Jangan langsung balas chat, jangan langsung ngegas di grup, jangan langsung jawab.

  2. Ambil 3 napas dalam:

    • Tarik 4 detik,

    • tahan 4 detik,

    • buang 6 detik.

  3. Tulis singkat (boleh di notes HP):

    • “Aku merasa …”

    • “Langkah paling bijak sekarang adalah …”

Targetkan minimal 1 momen per hari di mana kamu sadar:
“Aku lagi emosi, tapi kali ini aku pilih nggak buru-buru merespons.”


6. Hati-hati jadi “penyelamat”: pilih lingkaran pergaulanmu

Evy mengingatkan, ada tipe orang yang:

  • selalu punya masalah,

  • selalu butuh didengar,

  • tapi tidak pernah benar-benar ingin berubah.

Kalau kita punya kebiasaan menjadi “penyelamat” untuk semua orang, kita bisa ikut tenggelam dalam drama mereka. Lama-lama:

  • energi habis,

  • waktu habis,

  • hidup kita sendiri nggak keurus.

Di sisi lain, orang yang tegar biasanya sangat selektif dengan siapa mereka dekat. Lingkaran terdekat mereka diisi orang yang:

  • dorong mereka berkembang,

  • bisa saling mengingatkan,

  • bukan cuma saling mengeluh bareng.

Latihan kecil:

  • Tulis 5 orang yang paling sering kamu ajak chat atau ketemu.

  • Kasih tanda:

    • (+) kalau setelah ngobrol kamu merasa lebih tenang/semangat,

    • (–) kalau setelah ngobrol kamu sering capek, emosi, atau makin negatif.

  • Pertahankan kasih sayang ke semua orang, tapi:

    • mulai lebih banyak waktu dengan yang (+),

    • dan bikin batas sehat dengan yang (–). Misalnya:

      • tidak selalu menjadi tempat curhat pertama,

      • membatasi topik yang bikin kamu drained,

      • menyarankan mereka mencari bantuan profesional kalau perlu.

7. Bangun percaya diri dari tindakan kecil yang konsisten

Gambar: Seorang perempuan duduk sambil memangku e-reader dan membaca dengan fokus.

Evy menyebut, orang yang benar-benar percaya diri jarang membahas soal “percaya diri” terus-terusan. Mereka sibuk:

  • mengambil keputusan,

  • bertanggung jawab,

  • belajar dari kesalahan,

  • dan terus jalan.

Percaya diri bukan hasil dari 1000 afirmasi di depan kaca, tapi dari:

“Aku tahu aku bisa mengandalkan diriku sendiri.”

Itu datang dari kebiasaan kecil yang konsisten, bukan dari satu langkah dramatis.

Kebiasaan yang bisa kamu mulai hari ini:

  • Setiap hari, ambil minimal satu keputusan kecil tanpa melemparkannya ke orang lain:

  • Kurangi kalimat:

    • “Terserah kamu aja deh.”
      Ganti dengan:

    • “Menurutku sebaiknya begini: …”

Langkah-langkah kecil ini kelihatannya sepele, tapi kalau dirangkai 30–90 hari, kamu akan punya bukti konkret bahwa kamu mampu memimpin hidupmu sendiri.


Mini checklist harian ala Evy (versi praktis)

Supaya nggak cuma jadi teori, kamu bisa pakai checklist ini tiap malam sebelum tidur:

  • Hari ini, apakah aku berhenti menyalahkan masa lalu, walau cuma sekali?

  • Apakah aku menerima satu fakta pahit tentang orang/situasi, lalu mengambil langkah dari situ?

  • Apakah aku mengurangi beban otak (hapus tugas nggak penting, bilang “tidak”, matikan notifikasi)?

  • Apakah aku menahan respons saat emosi naik, dan menunggu sedikit sebelum menjawab?

  • Apakah aku datang sebagai diriku yang profesional di situasi penting (kerja, rapat, proyek)?

  • Apakah aku mengambil satu keputusan kecil sendiri hari ini?

  • Apakah aku melangkah maju walaupun cuma 1 langkah kecil?

Nggak perlu langsung “lulus” semua checklist tiap hari. Cukup pilih 1–2 poin dulu yang paling relevan dengan hidupmu sekarang, dan ulangi selama beberapa minggu.

Pelan-pelan, kamu akan sadar: kamu memang bukan agen rahasia seperti Evy Poumpouras. Tapi kamu bisa belajar ketegaran yang sama—versi kamu sendiri.


Tebejowo.com didukung oleh pembaca. Kami mungkin memperoleh komisi afiliasi ketika Anda membeli melalui tautan di situs web kami. Untuk kolaborasi, sponsorship, hingga kerjasama, bisa menghubungi: 0857-1587-2597.

Ikuti juga kami di Google News untuk mendapatkan notifikasi artikel terbaru dari gawai Anda.

 

✓ Link berhasil disalin!