Skip to main content

Hari Guru Nasional dan Pentingnya Guru dalam Menumbuhkan Budaya Membaca

Refleksi Hari Guru Nasional tentang peran ideal guru dalam menumbuhkan budaya membaca, tantangan di lapangan, serta langkah kecil realistis bagi guru, orang tua, dan pemerhati pendidikan di Indonesia.

 |  Muhammad Fauzi Rizal  |  Pekerjaan & Produktivitas
Guru Indonesia membimbing murid membaca di kelas
Seorang guru sekolah dasar di Indonesia membimbing murid-muridnya di dalam kelas, memperhatikan buku pelajaran yang terbuka di meja, menggambarkan peran guru dalam mengajarkan ilmu dan menumbuhkan budaya membaca.

Refleksi Hari Guru Nasional tentang peran ideal guru dalam menumbuhkan budaya membaca, tantangan di lapangan, serta langkah kecil realistis bagi guru, orang tua, dan pemerhati pendidikan di Indonesia.

 

DAFTAR ISI

Seremonial di Tengah Krisis Membaca

Setiap 25 November, Indonesia memperingati Hari Guru Nasional. Di banyak sekolah, ada upacara, video ucapan, bunga, hingga unggahan penuh terima kasih di media sosial. Namun di balik momen hangat itu, ada realita yang sulit diabaikan: minat baca dan kemampuan membaca murid Indonesia masih tertinggal dibanding banyak negara lain. Hasil asesmen internasional seperti PISA 2022 menunjukkan skor literasi membaca siswa Indonesia berada jauh di bawah rata-rata negara OECD.

Di saat yang sama, kehidupan sehari-hari murid dan orang dewasa kini didominasi scroll media sosial, video pendek, dan notifikasi tanpa henti. Membaca teks panjang—apalagi buku—sering terasa melelahkan dan “kurang menarik”.

Dalam situasi seperti ini, wajar kalau sebagian orang bertanya:

“Masih relevankah bicara soal peran guru dalam menumbuhkan budaya membaca, kalau faktanya minat baca saja belum membaik?”

Artikel ini mencoba menjawab pertanyaan itu secara jujur dan realistis. Bukan untuk meng-glorifikasi guru seolah semua sudah ideal, melainkan menggunakan momen Hari Guru Nasional sebagai ruang refleksi: peran ideal apa yang bisa dimainkan guru dalam budaya membaca, apa saja hambatannya, dan langkah kecil apa yang masih mungkin dilakukan di kelas dan di rumah?


Mengapa Budaya Membaca Penting untuk Masa Depan Murid?

Sebelum membahas guru, kita perlu sepakat dulu: mengapa budaya membaca penting?

Berbagai kajian internasional menjelaskan bahwa literasi—kemampuan memahami, menggunakan, dan merefleksikan informasi tertulis—adalah fondasi pendidikan dan pembelajaran sepanjang hayat. UNESCO menegaskan bahwa literasi membuka akses ke pengetahuan, kesempatan kerja, kesehatan yang lebih baik, dan partisipasi aktif dalam masyarakat.

Dalam konteks murid:

  • Membaca membantu memahami pelajaran lain.
    Matematika, sains, sejarah, bahkan soal-soal ujian semuanya disajikan dalam bentuk teks. Murid yang kesulitan membaca akan kesulitan di hampir semua mata pelajaran.

  • Membaca melatih berpikir kritis dan mandiri.
    Dengan terbiasa membaca teks yang beragam, murid belajar membedakan fakta dan opini, memeriksa sumber informasi, dan tidak mudah termakan hoaks.

  • Membaca memberi ruang jeda dari dunia digital yang serba cepat.
    Buku dan teks panjang menawarkan ritme yang lebih pelan, membantu otak fokus dan memberi ruang refleksi—sesuatu yang jarang didapat dari scroll tanpa henti.

Di Indonesia, berbagai penelitian dan laporan kebijakan menunjukkan bahwa kemampuan literasi membaca masih menjadi PR besar. Hasil PISA 2022, misalnya, menunjukkan rata-rata skor membaca siswa Indonesia jauh di bawah rata-rata OECD, dan hanya sebagian kecil murid yang mencapai tingkat kemampuan tinggi.

Artinya, membangun budaya membaca bukan sekadar proyek tambahan, tapi bagian dari upaya memperbaiki kualitas pendidikan secara keseluruhan.

Di sisi lain, upaya ini tidak harus dimulai dari nol. Di luar artikel ini, pembaca bisa memperdalam topik melalui tulisan lain di Tebejowo, misalnya tentang manfaat membaca bagi otak dan tubuh atau latihan praktis seperti latihan membaca fokus 20 menit.


Peran Ideal Guru dalam Menumbuhkan Budaya Membaca

Gambar: Suasana perpustakaan modern di Indonesia dengan rak-rak buku tinggi dan area baca yang nyaman, melambangkan perpustakaan sebagai wahana menimba ilmu dan mendukung peningkatan minat baca pelajar.

Perlu digarisbawahi: bagian ini membahas peran ideal, bukan deskripsi tentang semua guru di Indonesia. Di lapangan, situasinya jauh lebih beragam.

1. Guru sebagai Teladan Membaca

Murid menangkap banyak hal bukan dari apa yang guru katakan, melainkan dari apa yang guru lakukan berulang-ulang.

Guru yang terlihat:

  • membaca buku atau artikel di sela waktu,

  • menyebutkan buku yang sedang ia baca,

  • bercerita singkat tentang ide menarik dari bacaan,

secara tidak langsung mengirim pesan: “Orang dewasa pun masih perlu membaca. Membaca itu bagian dari hidup, bukan sekadar tugas sekolah.”

2. Guru sebagai Kurator Bacaan

Di era banjir informasi, murid tidak kekurangan teks untuk dibaca, tapi kekurangan panduan memilih bacaan.

Peran guru sebagai kurator bisa berupa:

  • mengusulkan daftar bacaan pendek sesuai usia dan tingkat kemampuan membaca,

  • memberikan alternatif: cerita pendek, komik edukatif, artikel populer, bukan hanya buku pelajaran,

  • memberi peringatan halus tentang sumber-sumber yang tidak kredibel.

Dengan begitu, murid tidak hanya “disuruh membaca”, tetapi dibantu menemukan bacaan yang terasa dekat dengan hidup mereka.

3. Guru sebagai Fasilitator Diskusi Bacaan

Sering kali, tugas membaca di sekolah berhenti pada “buat rangkuman bab 1–3”. Bagi banyak murid, ini terasa seperti pekerjaan administrasi, bukan pengalaman belajar.

Guru bisa mengubah suasana dengan:

  • mengalokasikan 5–10 menit diskusi kelas setelah murid membaca,

  • menanyakan: “Bagian mana yang paling mengganggu?” atau “Apa yang paling mengejutkan dari teks ini?”,

  • memberi ruang bagi perbedaan pendapat, selama tetap santun.

Membaca lalu berdiskusi membantu murid melihat bahwa teks bukan sekadar kumpulan paragraf, tetapi pemicu percakapan dan pemikiran.

4. Guru sebagai Penjaga Fokus di Era Digital

Di tengah distraksi gawai, guru punya posisi strategis untuk mengajak murid melatih fokus.

Praktik realistis misalnya:

  • menetapkan “waktu hening membaca” di kelas, di mana gawai disimpan dan semua orang (termasuk guru) membaca,

  • menjelaskan perbedaan antara “membaca cepat untuk mencari informasi” dan “membaca mendalam untuk memahami”.

Di sini, guru tidak sedang “melawan” teknologi, tetapi membantu murid menggunakan teknologi tanpa kehilangan kemampuan membaca yang serius.

Realita di Lapangan: Mengapa Peran Ideal Ini Sulit Terwujud?

Menyadari ideal itu penting, tapi tidak kalah penting untuk mengakui hambatan nyata yang dihadapi guru dan sekolah.

1. Beban Kerja dan Administrasi

Banyak guru mengajar di banyak kelas, dengan jumlah murid besar, ditambah tugas administrasi yang tidak sedikit. Waktu dan energi untuk merancang kegiatan literasi kreatif sering tersisih oleh tuntutan lain yang lebih mendesak.

2. Keterbatasan Akses Buku dan Perpustakaan

Tidak semua sekolah memiliki perpustakaan yang hidup. Kajian tentang indeks literasi di Indonesia menunjukkan bahwa masih banyak sekolah yang belum memiliki koleksi buku yang memadai atau pengelola perpustakaan yang aktif.

Dalam kondisi seperti ini, mengharapkan program membaca yang kaya variasi menjadi sulit, meski niat guru sudah ada.

3. Pengaruh Media Sosial dan Budaya Serba Instan

Data yang sering dikutip dan disebut bersumber dari UNESCO menggambarkan rendahnya minat baca masyarakat Indonesia, dengan ilustrasi bahwa hanya sebagian kecil dari 1.000 orang yang dikategorikan gemar membaca.

Terlepas dari perdebatan soal akurasi angka, pesan utamanya jelas:

  • konsumsi konten cepat (video pendek, caption singkat, meme) mendominasi,

  • membaca teks panjang menjadi aktivitas yang jarang.

Guru bekerja dalam konteks sosial seperti ini, bukan di ruang hampa.

4. Lingkungan Rumah dan Dukungan Keluarga

Penelitian tentang literasi membaca di Indonesia menunjukkan bahwa dukungan keluarga berpengaruh besar pada kemampuan membaca murid.

Jika di rumah tidak ada contoh orang dewasa yang membaca, atau tidak ada sudut kecil untuk menyimpan buku, murid datang ke sekolah dengan “modal literasi” yang terbatas.

Karena itu, tidak adil menaruh seluruh beban budaya membaca pada guru saja.


Langkah Konkrit yang Bisa Dilakukan Guru di Kelas

Meski tantangannya besar, masih ada langkah-langkah kecil yang relatif murah dan fleksibel, yang bisa disesuaikan dengan kondisi masing-masing sekolah.

1. Waktu Baca Singkat tapi Konsisten

Alih-alih menunggu program besar, guru bisa:

  • memilih satu atau dua pertemuan dalam seminggu,

  • menyediakan 5–10 menit “waktu baca bebas”,

  • mengizinkan murid membawa bacaan pilihan sendiri (selama masih dalam batas wajar).

Durasi pendek tapi rutin sering lebih mudah dijalankan dibanding program besar yang membutuhkan banyak persiapan.

2. Membaca Nyaring dan Cerita Pendek

Guru bisa:

  • membacakan satu cerita pendek, artikel menarik, atau cuplikan biografi,

  • berhenti di titik tertentu dan mengajak murid menebak kelanjutan cerita,

  • menghubungkan isi teks dengan pengalaman sehari-hari murid.

Kegiatan membaca nyaring membantu murid yang masih kesulitan membaca mandiri, sekaligus menunjukkan bahwa teks bisa menghibur sekaligus mengajak berpikir.

3. Tugas Membaca yang Manusiawi

Alih-alih tugas rangkuman panjang, guru bisa memberikan tugas seperti:

  • “Tuliskan satu kalimat yang paling mengena dari bacaan hari ini, dan jelaskan mengapa.”

  • “Tuliskan satu hal yang kamu setuju dan satu hal yang kamu tidak setuju dari teks ini.”

Tugas singkat seperti ini mendorong pemahaman dan refleksi, bukan sekadar menyalin isi buku.

4. Menghubungkan Bacaan dengan Dunia Digital

Daripada memposisikan buku sebagai lawan media sosial, guru bisa:

  • mengajak murid mencari contoh hoaks atau informasi simpang siur di dunia maya,

  • kemudian membandingkannya dengan informasi dari buku atau sumber tepercaya,

  • mendiskusikan bagaimana literasi membaca membantu menyaring informasi.

Dengan cara ini, murid melihat bahwa kemampuan membaca tidak hanya penting di kelas, tetapi juga untuk bertahan di dunia digital.

Peran Pemerhati Pendidikan, Orang Tua, dan Komunitas

Gambar: Ruang perpustakaan perguruan tinggi di Indonesia yang tertata rapi dengan rak buku dan meja belajar, menunjukkan pentingnya dukungan lembaga pendidikan dan komunitas dalam menyediakan lingkungan yang mendukung budaya membaca.

Membangun budaya membaca adalah tanggung jawab bersama. Guru tetap aktor penting, tetapi tidak mungkin bekerja sendirian.

1. Orang Tua dan Keluarga

Beberapa langkah sederhana di rumah:

  • menyediakan sedikit rak atau kotak khusus buku, meski hanya berisi beberapa judul,

  • membatasi waktu gawai di jam tertentu dan menggantinya dengan “waktu baca keluarga”,

  • mengajak anak menceritakan kembali apa yang dibaca, tanpa menuntut “jawaban benar”.

Bagi orang tua atau pengasuh yang ingin menjaga kualitas istirahat di tengah aktivitas membaca, pembahasan seperti tips sleep hygiene untuk pembaca juga bisa relevan.

2. Pemerhati Pendidikan dan Komunitas

Pemerhati pendidikan, pegiat literasi, dan komunitas lokal dapat:

  • membangun taman bacaan atau sudut baca di masjid, balai desa, atau ruang publik lain,

  • mengadakan kegiatan sederhana seperti “lapak baca” di akhir pekan,

  • membantu sekolah mengisi kekosongan koleksi buku melalui donasi terkurasi.

3. Pengambil Kebijakan dan Lembaga

Data PISA dan kajian literasi seharusnya tidak hanya menjadi berita sesaat, tetapi bahan perencanaan jangka panjang. Mulai dari pelatihan guru terkait literasi, penguatan perpustakaan sekolah, hingga kebijakan penyediaan buku dan infrastruktur digital yang mendukung membaca.


Menjadikan Hari Guru Nasional sebagai Momen Refleksi

1. Mengingat Guru yang Pernah Menyalakan Rasa Ingin Tahu

Di Hari Guru Nasional, kita bisa bertanya pada diri sendiri: “Siapa guru yang pernah mengubah cara saya melihat dunia?”

Mungkin ia bukan guru yang rutin membawa buku ke kelas. Bisa jadi ia guru yang suka bercerita, mengajukan pertanyaan sulit, atau sekadar guru yang percaya bahwa kita mampu. Tetapi pengalaman itu sering kali mendorong kita untuk mencari jawaban sendiri, dan di situlah membaca menemukan tempatnya.

2. Dari Murid Menjadi “Guru” bagi Lingkungan Kecil

Saat dewasa, peran kita tidak berhenti sebagai “mantan murid”. Kita bisa menjadi guru dalam arti luas:

  • bagi anak di rumah,

  • bagi adik kelas, santri, atau anggota komunitas,

  • bagi teman kerja yang mungkin belum terbiasa membaca.

Mulai dari hal kecil: mengajak satu orang saja untuk ikut membaca, berbagi artikel yang berkualitas, atau sekadar bercerita tentang buku yang mengubah cara kita berpikir.

AQ Singkat: Guru dan Budaya Membaca

1. Apa hubungan Hari Guru Nasional dengan budaya membaca?
Hari Guru Nasional bisa menjadi momen refleksi tentang bagaimana peran guru—baik di sekolah maupun di komunitas—mempengaruhi kebiasaan membaca murid, dan sejauh mana sistem pendidikan mendukung atau menghambat tumbuhnya budaya membaca.

2. Apakah semua guru harus menjadi pecinta buku?
Idealnya guru memiliki kebiasaan membaca, tetapi pada praktiknya kondisi lapangan sangat beragam. Yang penting, guru menyadari pentingnya literasi membaca dan berusaha memberikan ruang, contoh, dan panduan secukupnya sesuai kapasitas dan konteks sekolah masing-masing.

3. Langkah paling sederhana apa yang bisa dilakukan guru untuk mendorong minat baca murid?
Salah satu langkah termudah adalah menyediakan waktu baca singkat dan rutin di kelas, disertai diskusi ringan. Durasi bisa hanya 5–10 menit, tetapi konsistensi lebih penting daripada lamanya waktu.

4. Apa yang bisa dilakukan orang tua jika sekolah belum punya program literasi yang kuat?
Orang tua dapat mulai dari rumah: menyediakan beberapa buku, membatasi waktu gawai, dan mengajak anak bercerita tentang bacaan. Dukungan keluarga terbukti berkontribusi besar terhadap kemampuan literasi anak.

5. Bagaimana menghadapi murid yang lebih tertarik pada gawai daripada buku?
Pendekatan yang realistis bukan memusuhi gawai, tetapi mengajak murid memahami bahwa kemampuan membaca yang kuat justru membantu mereka menilai informasi yang beredar di dunia digital, membedakan mana konten bermanfaat dan mana yang menyesatkan.


Dari Keluhan ke Aksi Nyata

Realita rendahnya minat baca dan kemampuan membaca murid Indonesia tidak bisa diselesaikan hanya dengan satu artikel, satu program, atau satu Hari Guru Nasional. Namun, mengakui masalah tanpa menyalahkan individu adalah langkah awal yang penting.

Guru, orang tua, pemerhati pendidikan, dan pembuat kebijakan masing-masing memegang bagian dari puzzle budaya membaca. Momen Hari Guru Nasional bisa menjadi pengingat bahwa:

  • guru tetaplah figur kunci,

  • tetapi mereka juga membutuhkan dukungan sistem, keluarga, dan masyarakat,

  • dan setiap kita yang bisa membaca hari ini, pada dasarnya sedang memegang kesempatan untuk menjadi “guru kecil” bagi orang di sekitar.

Dengan langkah-langkah sederhana—waktu baca singkat di kelas, rak buku kecil di rumah, obrolan ringan tentang bacaan—kita mungkin tidak langsung mengubah skor PISA, tetapi kita sedang membangun fondasi budaya membaca yang lebih kuat dari hari ke hari.


Daftar Referensi


Tebejowo.com didukung oleh pembaca. Kami mungkin memperoleh komisi afiliasi ketika Anda membeli melalui tautan di situs web kami. Untuk kolaborasi, sponsorship, hingga kerjasama, bisa menghubungi: 0857-1587-2597.

Ikuti juga kami di Google News untuk mendapatkan notifikasi artikel terbaru dari gawai Anda.

 

✓ Link berhasil disalin!