Skip to main content
Ilustrasi Pekerja Yang Burnout

Mencari Pekerjaan yang Membuat Bahagia Mungkin Membuat Anda Menderita!

Sebagai seorang executive coach, saya mendapat kehormatan untuk bekerja dengan ribuan orang terkait karier mereka. Dari pengalaman menyaksikan langsung pertumbuhan mereka, saya tahu bahwa ide mencari profesi yang membuat kita "bahagia" (alih-alih sekadar menemukan kepuasan) justru membuat kebanyakan dari kita menderita.

DAFTAR ISI

Jebakan Mengejar Kebahagiaan

Banyak dari kita menghabiskan hidup mengejar kebahagiaan, percaya bahwa ini adalah kunci kehidupan yang terpenuhi. Namun, emosi manusia pada dasarnya bersifat sementara. Emosi seharusnya berubah dari waktu ke waktu. Tidak mungkin merasa bahagia sepanjang waktu, dan tekanan untuk melakukannya menyebabkan kekecewaan terus-menerus—terutama dalam karier kita.

Dr. Robert Lustig, profesor emeritus di University of California, San Francisco, berpendapat bahwa obsesi kita terhadap kebahagiaan justru membuat kita lebih tertekan. Dalam bukunya The Hacking of the American Mind, Lustig menjelaskan bahwa masyarakat telah mencampuradukkan kebahagiaan, kesenangan, dan kepuasan, yang mengakibatkan ketidakbahagiaan secara luas.

Pengejaran kita yang tak kenal lelah terhadap "lebih"—entah itu lebih banyak "like" di media sosial, lebih banyak barang mewah, atau promosi yang lebih besar—mengaktifkan dopamin, neurotransmiter yang terkait dengan motivasi dan penghargaan. Seiring waktu, pengejaran konstan ini dapat menyebabkan perilaku adiktif, membuat kita terus-menerus tidak puas.

Mengapa Kita Perlu Merasakan Lebih dari Sekadar Kebahagiaan

Meskipun kebahagiaan adalah hal yang baik, itu seharusnya bukan menjadi satu-satunya fokus kita. Penny Locaso, yang dijuluki "hacker kebahagiaan pertama di dunia," menemukan bahwa orang-orang yang paling terpenuhi adalah mereka yang memperbolehkan diri mereka mengalami berbagai macam emosi manusia—termasuk yang sering kita labeli sebagai negatif, seperti kesedihan, kemarahan, dan ketakutan. Menekan emosi yang menantang seperti duka atau frustrasi dapat merugikan kita karena mencegah kita memproses pengalaman manusia seutuhnya. Dan ketika kita menekan satu perasaan, kita sering kali juga menyangkal lawannya.

Kemampuan untuk merasakan berbagai macam emosi ini dikenal sebagai emodiversity. Dan penelitian menunjukkan bahwa orang yang mengalami berbagai macam emosi melaporkan tingkat depresi yang lebih rendah, lebih sedikit kunjungan ke dokter, dan biaya medis yang lebih rendah.

Ketika kita enggan melihat keseluruhan pengalaman kita (yang baik dan yang menantang), kita mencari kesenangan tanpa mempedulikan biayanya. Biayanya biasanya adalah keaslian, kebenaran, dan kehadiran kita dengan apa adanya. Kita berpikir tujuan akan membuat kita bahagia versus bersama dengan apa yang ditawarkan perjalanan pada saat ini.

Cara berpikir ini hanya mengarah pada penderitaan. Seperti yang dikatakan Eckhart Tolle, "Penderitaan membutuhkan waktu. Ia tidak dapat bertahan dalam saat ini."

Saya mengartikan ini sebagai biasanya, kita merasa paling menderita ketika kita tenggelam dalam masa lalu atau khawatir tentang hasil masa depan, daripada membiarkan diri kita sepenuhnya hadir dalam momen yang sedang kita alami. Merasakan dan memproses sepenuhnya baik pasang surut kehidupan, versus hanya fokus pada kebahagiaan, membantu kita terlibat lebih jujur dengan ambisi dan tujuan kita.

Filosofi Timur dan Kepuasan sebagai Keadaan Eksistensi

Sementara budaya Barat terobsesi dengan kebahagiaan, banyak tradisi Timur memprioritaskan kepuasan sebagai tujuan utama. Dr. Daniel Cordaro, pendiri Contentment Foundation, mempelajari 5.000 tahun filosofi manusia dan 200 tahun penelitian ilmiah.

Dia menemukan bahwa sementara konsep kebahagiaan jarang muncul dalam tradisi kebijaksanaan kuno, ide kepuasan muncul lebih dari 90% waktu. Dalam tradisi-tradisi ini, kepuasan digambarkan sebagai "keutuhan tanpa syarat," suatu keadaan eksistensi yang tidak bergantung pada keadaan eksternal.

Gagasan keutuhan tanpa syarat ini memungkinkan kita untuk terlibat dengan ambisi kita dengan cara yang lebih bermakna. Alih-alih mengejar penanda kesuksesan eksternal—seperti gelar, penghargaan, atau kenaikan gaji—untuk merasa utuh, kita menyadari bahwa keutuhan kita berasal dari dalam diri.

Dan ketika kita mendekati kehidupan dari tempat kepuasan batin ini, kita dapat sepenuhnya hadir, menghargai momen. Ini bukan berarti kita tidak bisa ambisius—sebenarnya, klien-klien saya adalah orang-orang paling ambisius yang saya kenal. Anda mungkin memang layak mendapatkan kenaikan gaji dan promosi itu.

Namun, mengorientasikan hidup kita pada kepuasan versus kebahagiaan berarti kita menghargai pertumbuhan dan keinginan kita untuk berkembang, sambil juga merasa utuh dengan apa yang ada.

Ini memungkinkan kita mengejar ambisi kita dari tempat kelengkapan, bukan kekurangan. Ketika kita mendekati hidup dari perspektif ini, kita dapat menetapkan tujuan yang selaras dengan nilai dan tujuan kita, alih-alih tujuan yang berasal dari perasaan tidak cukup.

Dengan mengembangkan kepuasan, kita memberdayakan diri untuk hidup lebih penuh di masa kini sambil tetap terbuka terhadap semua yang ditawarkan masa depan. Alih-alih mengandalkan perasaan kebahagiaan yang sementara, kita dapat mengalami kekayaan hidup—dan ambisi—dari tempat yang stabil, damai, dan terpenuhi.

 

Sumber: Amina Altai.

 

Tebejowo.com didukung oleh pembaca. Kami mungkin memperoleh komisi afiliasi ketika Anda membeli melalui tautan di situs web kami.

Ikuti juga kami di Google News untuk mendapatkan notifikasi artikel terbaru dari gawai Anda.

 

Artikel Kesehatan, kesehatan mental